Mengembangkan Ekonomi Kreatif

Mengembangkan Ekonomi Kreatif
Ekonomi kreatif adalah sebuah konsep di era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi yang utama. Konsep ini biasanya akan didukung dengan keberadaan industri kreatif yang menjadi pengejawantahannya. Seiring berjalannya waktu, perkembangan ekonomi sampai pada taraf ekonomi kreatif setelah beberapa waktu sebelumnya, dunia dihadapi dengan konsep ekonomi informasi yang mana informasi menjadi hal yang utama dalam pengembangan ekonomi.

Pengertian Ekonomi Kreatif Menurut Para Ahli
John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money from Ideas pertama kali memperkenalkan istilah ekonomi kreatif. Howkins menyadari lahirnya gelombang ekonomi baru berbasis kreativitas setelah melihat pada tahun 1997, Amerika Serikat menghasilkan produk-produk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) senilai 414 miliar dolar yang menjadikan HKI sebagai barang ekspor nomor satu di Amerika Serikat.

John Howkins mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai the creation of value as a result of idea.[3] Dalam sebuah wawancara bersama Donna Ghelfi dari World Intellectual Property Organization (WIPO), Howkins menjelaskan ekonomi kreatif sebagai "kegiatan ekonomi dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang. Karena bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemajuan."

United Nations Conference on Trade and Development mendefinisikan ekonomi kreatif "An evolving concept based on creative assets potentially generating economic growth and development."

Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) mendefisinikan ekonomi kreatif sebagai Creative Industries as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content.

Dalam cetak biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai "Era baru ekonomi setelah ekonomi pertanian,ekonomi industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya."

Resesi telah merambah ke mana-mana. Krisis finansial global yang dipicu oleh bangkrutnya sejumlah raksasa keuangan Amerika Serikat (AS) benar-benar telah membawa efek domino yang luar biasa bagi negara-negara di kawasan emerging market, termasuk Indonesia. Saham-saham di hampir seluruh belahan dunia anjlok tajam. Bahkan, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami penurunan paling buruk ketiga di dunia akhir tahun lalu. Sejumlah negara maju yang selama ini menjadi tujuan ekspor bagi Indonesia jatuh dalam kubangan resesi ekonomi. Bagi Indonesia, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terus membayangi selama tahun 2009, khususnya pada industri berbasis ekspor. Lalu, apa yang mesti dikerjakan? Dengan cara seperti apa kita bisa bertahan?

Krisis memang telah memukul sendi-sendi kehidupan masyarakat. Yang paling terkena dampaknya, tentu saja masyarakat miskin yang sejauh ini tidak memiliki akses memadai, baik dari segi pendidikan, kesehatan, maupun akses ekonomi. Jumlah mereka yang miskin masih 34,96 juta jiwa, atau 15,42% dari total jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, jumlah pengangguran juga relatif masih besar, yakni 9,4 juta jiwa. Jumlah itu setara dengan 8,46% dari total angkatan kerja di Indonesia (data BPS Februari 2008).

Sebagian besar mereka menempati wilayah tertinggal di Republik ini. Mereka merupakan bagian dari 199 kabupaten daerah tertinggal di Indonesia. Secara kuantitatif jumlah daerah tertinggal tersebut setara dengan 44% dari total 457 kabupaten/kota di Indonesia. Karena ketidakberdayaan itulah, secara ekonomi peranan daerah tertinggal terhadap ekonomi nasional menjadi sangat kecil. Padahal, potensi di daerah tertinggal akan mendatangkan stimulus bagi ekonomi nasional jika digarap secara cermat. Mayoritas mereka tinggal dan menetap di desa. Mereka miskin bukannya karena malas, melainkan menjadi tidak berdaya karena akses mereka yang terbatas dan sengaja dibatasi pada era pembangunan sentralistik di masa lampau.

Dengan permasalahan yang kompleks seperti itu, ditambah dengan ancaman imbas krisis finansial yang sudah kian kentara di depan mata, upaya terpadu, terencana, dan berkesinambungan, dibutuhkan untuk pemberdayaan masyarakat. Program itu harus mampu merangsang dan menumbuhkan kreativitas masyarakat miskin, khususnya di perdesaan. Ekonomi kreatif akan muncul jika proses-proses pelibatan masyarakat dibuka seluas-luasnya.
Mengembangkan Ekonomi Kreatif
Ekonomi kreatif
Ekonomi kreatif
Karena itu, perlu program yang memungkinkan wilayah ekonomi kreatif, yang selama ini lebih banyak berkembang di perkotaan, bisa kian beranak pinak di perdesaan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), industri ekonomi kreatif terdiri dari 15 kategori. Yakni fesyen, kerajinan, periklanan, arsitektur, desain, pasar seni, film dan video, musik, software, hiburan interaktif, seni pertunjukan, penerbitan, dan jasa komputer. Sumbangan industri ekonomi kreatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih kecil, tapi terus meningkat sepanjang tahun.

Tahun lalu, kontribusi industri ekonomi kreatif diperkirakan mencapai 4,75% terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Paling tidak, ada 3 subkategori ekonomi kreatif yang kontribusinya paling besar, yakni fesyen 30%, kerajinan 23%, dan periklanan 18%. Industri kreatif juga telah menyerap 3,7 juta tenaga kerja atau 4,7% lapangan kerja di Indonesia, dan telah memberikan kontribusi ekspor sekitar 7%.

Penguasaan di bidang informasi, pengetahuan, dan kreativitas, tengah menjadi titik sentral dalam perkembangan budaya secara global. Hal ini setidaknya juga ikut mengarahkan perkembangan di bidang teknologi dan bisnis yang memanfaatkan kreativitas manusia sebagai ujung tombaknya. Sejak pertengahan 1990-an, perkembangan di bidang informasi, pengetahuan, dan kreativitas, juga ikut memicu lahirnya wacana mengenai industri kreatif yang saat ini telah menjadi fenomena global. Selain di negara maju, perkembangan industri kreatif setidaknya juga tumbuh secara pesat di beberapa negara berkembang semisal China, India, Brasil, Argentina, Meksiko, dan bahkan Burkina Faso yang terletak di daratan Afrika. Di beberapa negara ini, sektor ekonomi kreatif memberikan sumbangan GNP sebesar 3%.

Di Inggris dan Belanda, sektor ekonomi kreatif tercatat memberikan kontribusi bagi penciptaan lapangan kerja baru sampai sebesar 30%. Tidak mengherankan kalau pemerintah di tiap-tiap negara menggenjot perkembangan sektor ekonomi kreatif dengan mendorong berbagai inisiatif masyarakat sipil untuk meningkatkan kemampuan di bidang kreativitas dengan menciptakan berbagai kebijakan publik yang mengambil fokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perkembangan teknologi.

Selain itu, di banyak negara maju, pemerintah setempat kerap menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil agar dapat mendorong penguasaan di bidang informasi dan pengetahuan secara luas. Untuk itu, diciptakanlah berbagai kebijakan dan insentif yang dapat memicu pertumbuhan di bidang sektor kreatif dengan melibatkan pemerintah, lembaga keuangan, institusi pendidikan formal, dan berbagai kelompok independen yang menjadi tulang punggung bagi perkembangan ekonomi kreatif.

Di Indonesia, perkembangan sektor ekonomi kreatif baru berkembang pesat di beberapa kota besar. Melalui inisiatif komunitas anak muda di beberapa kota semisal Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, berbagai benih yang memicu pertumbuhan ekonomi kreatif di tingkat lokal telah mampu melahirkan karya film, animasi, fesyen, musik, software, game komputer, kerajinan, dan lain-lain. Beberapa di antara pelaku ekonomi kreatif ini malah telah mendapatkan kesempatan untuk menampilkan karya mereka di ajang internasional dan diterima dengan tangan terbuka.

Pemerintah sendiri akhir-akhir ini terlihat getol menyuarakan pentingnya mengembangkan sektor ekonomi kreatif sebagai salah satu upaya untuk keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dalam Pekan Produk Budaya Indonesia, Presiden Yudhoyono sempat menyatakan kalau ekonomi kreatif merupakan modal utama pembangunan ekonomi di gelombang empat peradaban. Hal ini tentu saja dapat kita artikan sebagai angin segar. Tindak lanjut dari ajakan Kepala Negara itu ialah menumbuhkembangkan partisipasi, pembukaan akses seluas-luasnya hingga ke desa, serta permodalan bergulir yang tepat sasaran. Desa, sebagai wilayah penyangga ekonomi di Republik ini, perlahan tapi pasti telah memperoleh kesempatan untuk mengembangkan ekonomi kreatif itu melalui pemberdayaan nasional.

Dengan total dana APBN 2010, terbuka seluas-luasnya pengembangan ekonomi kreatif itu hingga ke pelosok desa. Apalagi, dalam sejarah, desa telah memiliki modal berharga bagi tumbuhnya ekonomi kreatif. Di Kotawaringin Barat (Kobar) pada khususnya dan di Kalimantan Tengah pada umumnya, modal untuk mengembangkan ekonomi kreatif sangatlah besar. Kobar sebagai penyangga utama perekonomian di Kalimantan Tengah memiliki potensi ekonomi kreatif karena Kobar menjadi wilayah pertemuan berbagai etnik, baik Kalimantan maupun Jawa, yang memiliki hasil seni dan kerajinan kreatif yang belum sepenuhnya digali. Di Kobar ada etnik Banjar, Dayak, dan Jawa, yang bisa mengusung potensi kreatif itu bila disinergikan secara baik.

Ada batik dengan corak Dayak, Banjar. Juga beragam jenis senjata serta kerajinan tangan lainnya yang bila dibina secara serius dan berkelanjutan akan menghasilkan nilai tambah ekonomi yang tidak sedikit. Hal itu ditambah dengan kenyataan bahwa Kobar yang menjadi salah satu akses menuju Taman Nasional Tanjung Puting (wilayah yang sudah mendunia), dapat mudah memasarkan dan memassalkan produk-produk kerajinan kreatif bernuansa etnik tersebut. Mereka, para perajin lokal, akan dapat tumbuh di Kobar karena akses modal akan mudah didapat dengan adanya lembaga keuangan, yakni bank perkreditan rakyat (BPR), yang telah diupayakan pemerintah kabupaten.

Dengan sinergi tersebut, proses ekonomi kreatif bisa ditumbuhkembangkan dan bisa menjadi benteng masyarakat dari hantaman krisis yang daya rusaknya sangat hebat. Karena itu, tidak ada kata terlambat untuk segara membenahi dan mulai 'menyentuh' lahan ekonomi kreatif ini. Insya Allah.
Oleh Ujang Iskandar Kandidat Doktor Antarbidang UGM; Bupati Kotawaringin Barat.

Mewujudkan Suatu Kota Kreatif ( Contoh Kota Surabaya )
Pada Juni 2008, Departemen Perdagangan RI merilis cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia 2009-2025 serta pengembangan subsektor-subsektor ekonomi kreatif yang kemudian dikenal sebagai industri kreatif itu. Berdasarkan cetak birunya, ada 14 subsektor industri kreatif, yaitu periklanan; penerbitan dan percetakan; TV dan radio; film, video dan fotografi; musik; seni pertunjukan; arsitektur; desain; fesyen; kerajinan; pasar barang seni; permainan interaktif; layanan komputer dan piranti lunak; penelitian dan pengembangan.

Ekonomi kreatif sendiri berfokus pada penciptaan barang dan jasa dengan mengandalkan keahlian, bakat dan kreatifitas individu sebagai sebuah kekayaan intelektual. Sektor ini dipercaya pemerintah sebagai harapan bagi ekonomi Indonesia untuk bangkit, bersaing da meraih keunggulan dalam ekonomi global.

Kontribusi sektor ini juga sangat berdampak bagi Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu rata-rata sebesar 104,638 triliun rupiah pada tahun 2002-2006 atau menyumbang 6,3 persen dari PDB nasional. Sektor industri kreatif pun mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 5,4 juta pekerja di Indonesia dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8 persen serta produktivitas tenaga kerja bahkan mencapai 19,5 juta rupiah per pekerja setiap tahun melebihi produktivitas nasional yang “hanya” mencapai kurang dari 18 juta rupiah per pekerja per tahun.

Bandingkan dengan industri kreatif di negara lain, seperti Singapura. Singapura sendiri sedang berambisi menggenjot pendapatan Negara dari sektor ini untuk menaikkan kontribusi dari kurang lebih 3 persen (2000) menjadi 6 persen (2001). Simak juga ambisi Singapura untuk menjadikan Negara itu sebagai creative hub utama di Asia, sehingga mereka meluncurkan tiga inisiatif, yaitu kota Renaissance, Design Singapore dan Media 21.

Dengan menyingkirkan sekilas pandangan yang melihat upaya pemerintah yang sangat terlambat sementara sektor-sektor tersebut di Indonesia telah melaju kencang di pasar pasca ambruknya ekonomi Indonesia tahun 1997, indikasi positif pemerintah ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Bagaimana dengan Surabaya? Apa yang harus diperbuat agar mampu berdiri sejajar dengan kekuatan ekonomi global lainnya minimal sejajar dengan kota-kota dan wilayah kreatif lainnya, seperti Bandung, Jakarta, Bali dan Jogjakarta?

Sinergi Tiga Pihak
Banyak yang berpendapat, bahwa Surabaya ini bukanlah kota yang tepat dan mampu mengapresiasi kreatifitas orang dengan baik. Dengan kata lain, Surabaya bukan kota kreatif. Benarkah?

Apa yang tidak dipunyai oleh kota ini? Ada Budi Darma maupun Lan Fang serta sederet nama lain di bidang sastra. Siapa yang tidak kenal Padi maupun Boomerang serta puluhan grup band indie di sektor industri pertunjukan? Di periklanan mulai tumbuh rumah-rumah iklan, bahkan sumber daya manusianya (mahasiswa) bahkan mampu meruntuhkan dominasi mahasiswa periklanan dari kota lain yang selama ini dekat dengan periklanan, yaitu Jakarta dan Bandung. Di bidang desain, banyak fashion designer maupun desainer grafis yang malang melintang di dunia internasional. Bahkan distro pun banyak bertebaran di lingkungan kampus. Jangan tanyakan juga komik yang lahir dari Surabaya. Banyak komunitas komik dan komikus yang sangat getol berindustri di sektor ini. Seiring dengan boomingnya seni rupa Indonesia, kota ini juga punya deretan perupa-perupa yang mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional. Masih banyak potensi lain dari kota ini jika pihak pemerintah kota mau menginventarisasinya sebagai kekayaan kota. Namun tragisnya, mapping mengenai hal ini, pemerintah kota pun tidak mempunyainya.

Ada tiga hal yang harus bersinergi dalam memajukan ekonomi kreatif di Surabaya, yaitu intelektual, kalangan bisnis dan pemerintah. Kekuatan utama industri kreatif selama ini adalah mampu survive meski tanpa perhatian ketiga hal tersebut. Namun tidak ada salahnya, mulai tumbuh perhatian kepada mereka yang akan merangkak naik dalam industri kreatif di Surabaya.

Mengapa pihak intelektual bertanggungjawab pada pengembangan ekonomi kreatif? Yang jelas, faktor pendidikan inilah yang penting untuk ikut aktif melahirkan manusia-manusia kreatif. Banyaknya kampus di kota ini seharusnya mampu menjadi basis melahirkan generasi kreatif seperti halnya Bandung atau Jogjakarta. Namun apakah secara jujur mereka beritikad baik untuk melahirkan generasi-generasi kreatif ataukah hanya mengejar jumlah mahasiswa? Bagaimana peran serta mereka untuk secara aktif berkiprah di luar kampus? Adakah peran aktif dalam memberikan pelatihan-pelatihan di bidang kreatifitas ke kantong-kantong masyarakat? Bagaimana pula dengan penanaman pentingnya berpikir kreatif di tingkat pendidikan dasar dari SD hingga SMA? Apakah kurikulumnya masih berpihak dan terlalu menonjolkan kekuatan otak kiri dibanding otak kanan? Tentunya hal ini membutuhkan pula tenaga-tenaga pendidik yang tidak hanya pintar mengajar tetapi juga kreatif.

Di pihak bisnis, adakah kesempatan buat komunitas-komunitas masyarakat untuk mengembangkan kreatifitasnya? Program-program tanggung jawab sosial (CSR) yang dikembangkan oleh industri-industri besar akhir-akhir ini seharusnya mampu merangkul komunitas-komunitas yang secara proaktif mengembangkan bidangnya. Tengok saja, berapa banyak komunitas komik di Surabaya yang kadang-kadang gagal berangkat berpameran di kota lain di Indonesia hanya gara-gara kekurangan dana. Ada juga cerita dari seorang perupa Surabaya, yang gagal berangkat ke Biennale di Korea Selatan hanya karena juga masalah klasik tersebut. Komunitas-komunitas masyarakat yang secara aktif ingin menekuni kerajinan rakyat, misalnya, juga sangat membutuhkan rangkulan tangan dari pihak industri untuk menaikkan citra mereka. Jika di Surabaya banyak bertebaran mall seharusnya ini juga jadi sesuatu yang positif jika mereka menyediakan tempatnya untuk dijadikan ajang bisnis usaha kecil menengah (UKM) tanpa prosedur yang berbelit-belit bahkan mahal.

Bagaimana untuk pemerintah kotanya? sarana-sarana pendidikan kreatif juga harus diciptakan. Di Thailand, konsep taman edukasi telah diaplikasikan dalam Thai Knowledge Park yang dibangun dalam sebuah pusat perbelanjaan. Anak-anak dan kaum remaja dapat datang berkunjung ke sana untuk belajar sambil bermain, dan bahkan berbelanja. Tujuan dikembangkannya taman edukasi seperti ini adalah untuk mendorong siswa berpikir lebih kreatif. Pemerintah kota Surabaya sendiri telah membangun taman-taman kota yang memungkinkan berkumpulnya orang-orang kreatif. Namun, sekedar membangun infrastruktur tidaklah cukup. Langkah awal untuk menginventarisasi kekayaan intelektual di Surabaya dengan masuk ke industri kreatif yang telah mapan maupun komunitas-komunitas anak muda yang kreatif sangat dinantikan. Komunitas anak muda ini biasanya terpinggirkan padahal mereka berpotensi besar jika diperhatikan. Meskipun mereka banyak ’berindustri’ di kamar kos pun, pihak pemerintah tidak seyogyanya menampik keberadaan mereka. Dengan banyak upaya seperti itu, maka pemerintah kota diharapkan memasukkan program pengembangan industri kreatif ini ke anggaran kota sehingga dapat memacu insan-insan kreatif Surabaya untuk maju.

Jika tiga serangkai tersebut mampu berbuat banyak; pihak intelektual menyiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan mumpuni, kemudian pihak bisnis membuka ruang selebar-lebarnya dalam bentuk kemudahan finansial maupun material buat pengembangan industri kreatif serta pihak pemerintah yang tidak lagi terlalu sibuk perihal ijin yang berpotensi iklim kreatif menjadi lesu, maka dalam waktu ke depan, Surabaya pun mampu menjadi kota yang kreatif! Siapapun harus saling percaya untuk mewujudkan cita-cita ini.

Advertisement

Lagi Naik Daun