Teori dan Konsep Ekonomi Politik

Masuknya pengaruh globalisasi ke tingkat lokal tentu membawa juga liberalisme dan kapitalisme. Globalisasi menjadi pintu gerbang bagi negara-negara kapitalis berlindung di bawah bendera organisasi internasional, masuk ke negara-negara berkembang dengan semangat liberal dan kapitalis mereka. Negara-negara kapitalis tersebut sangat haus akan sumber-sumber daya baru yang dapat mereka eksploitasi dengan harga murah dan diolah untuk menambah daya jualnya. Sasaran globalisasi tentu saja negara-negara yang sedang menggelepar, butuh suntikan dana, agar ekonomi mereka pulih kembali. Rakyat kelaparan di daerah luar pulau Jawa tentu akan memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam mendapatkan bantuan tersebut.

Kapitalisme kemudian masuk ke Indonesia dengan berbagai cara, terutama dibawa oleh organisasi International Monetary Funds (IMF) senantiasa menggunakan cara-cara kurang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Program restrukturisasi nasional merupakan saran wajib diikuti Indonesia diikuti pencabutan subsidi sektor-sektor utama seperti pendidikan, minyak dan gas bumi, dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bersamaan dengan kapitalisme, liberalisme pun masuk melalui instrumen pers bebas, penegakkan demokrasi, dan arus budaya asing mengalir deras tanpa halangan melalui media-media beraneka ragam dan bentuk.

Di satu sisi, kapitalisme memang telah membawa Indonesia masuk ke dalam pasar bebas dunia, dimana semestinya Indonesia bisa bangkit menjadi pemain besar ekonomi dunia. Akan tetapi, sumber daya alam Indonesia sedemikian besarnya berada di daerah telah terkuras untuk kepentingan pemerintah pusat dan asing. Masyarakat di daerah hanya bisa berkoar-koar untuk mengembalikan harga dirinya tapi bukan mengembalikan harta kekayaan terpendam berupa gas dan mineral serta bumi yang subur dengan hutan dan tanah, serta kekayaan lautnya yang katanya tak terhingga. Indonesia hanya menjadi penonton bukan pemain di pasar dunia. Kapitalisme telah menggerogoti kemampuan Indonesia terutama kekuatan ekonomi lokal bangkit menjadi raksasa ekonomi dunia seperti halnya Cina dan India. Disinilah sumber persoalan ekonomi politik di tingkat lokal muncul, mewarnai keharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Kebijakan desentralisasi tahun 1999 merupakan salah satu dampak dari masuknya globalisasi ke tingkat lokal. Menurut Sidel (1998), Indonesia mengalami kemacetan total setelah krisis moneter Asia tahun 1997. Persoalan bukan selesai, namun jaringan-jaringan kekerabatan persaudaraan, kesukuan, atau kepentingan kelompok lainnya semakin menguat di daerah. Penguatan terjadi antara lain disebabkan oleh para pendukung Orde Baru, terutama elit militer dan para konglomerat keturunan Cina, kehilangan induk, satu persatu meninggalkan patron mereka, mencari pelindung atau dukungan finansial dan politik lebih menguntungkan. Desentralisasi telah membuka peluang baru pemain ekonomi lama bermain politik, melestarikan jejaring bisnis mereka di daerah, memindahkan antara lain:
  1. Crony capitalism,
  2. Rent-seeking bureaucracy, 
  3. melahirkan shadow state.
Crony capitalism atau kapitalisme kroni merupakan terminologi digunakan untuk melukiskan ekonomi kapitalis dimana kesuksesan bisnis tergantung dari seberapa dekat hubungan pengusaha dengan aparat pemerintah. Kroniisme ini menjadi praktek yang seringkali terjadi di negara berkembang dengan memberikan perlakuan khusus kepada para pengusahanya misalnya pembebasan pajak, pemberian ijin khusus, bantuan pemerintah, dan lainnya. Tujuan dari praktek kroni tersebut adalah melanggengkan kekuasaan pemerintah dengan memberikan akses kepada pengusaha mengalirkan dana sebagai imbalan atas kemudahan usaha yang diberikan pemerintah. Menurut Barbara harriss-white (2003), kroni dapat meningkatkan kewibawaan politik dari adanya kekuatan keras, namun dari kemampuan mengendalikan pasar dan imbalan material, atau, dengan kata lain, dari hegemoni di black economy. Terminologi black economy berasal dari ilmu ekonomi yang membahasakan sebagian dari pemasukan suatu negara secara sengaja tidak diumumkan kepada masyarakat atau dapat pula sebagai upaya illegal untuk menghindari kewajiban membayar pajak.

Sedangkan rent-seeking bureaucracy timbul sebagai akibat perbuatan seseorang, kelompok, ataupun organisasi tertentu, terutama birokrasi, yang mengambil keuntungan materi sebesar-besarnya dari menjual kewenangan dan praktek manipulasi untuk mendukung pihak lain mengekploitasi sumber-sumber ekonomi.

Kedua praktek kolutif tersebut pada akhirnya menyuburkan korupsi, sehingga muncul kemudian istilah shadow state sebagai tandingan istilah negara konvensional. Definisi negara konvensional menurut Weber memiliki karakteristik, antara lain:
  1. aturan administratif dan kepastian penegakan hukum,
  2. kekuasaan atas warga negara dan suatu wilayah tertentu,
  3. monopoli dalam penggunaan kekuataan memaksa.
Sementara itu, konsep shadow state antara lain bercirikan suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan oleh aparatur negara yang bertindak berdasarkan kepentingan kaum swasta ataupun aktor-aktor eksternal lainnya di luar institusi negara. Aktor-aktor tersebut dapat merupakan penyedia jasa dan barang kepada pemerintah, dimana terdapat kewajiban pemerintah membeli kepada mereka tanpa harus melalui prosedur pembelian yang legal misalnya, mekanisme pengadaan barang dan jasa atau lelang. Shadow state digerakkan oleh hukum yang tidak tertulis, senantiasa berubah menurut selera pemerintah dan kepentingan pengusaha. Kerjasama di antara mereka akan menimbulkan gejala monopoli di dalam penguasaan sumber-sumber utama ekonomi yang akan selalu diliputi ketidakpastian. Warga negara hidup di dalam shadow state ditandai dengan lebarnya jurang kemiskinan antara miskin dan kaya sebagai akibat tidak adanya aturan tegas memberikan akses kesejahteraan bagi kaum kurang beruntung.

Permasalahan kapitalisme kroni, birokrasi rent-seeking, dan shadow state menjalar bagaikan virus menular ke daerah-daerah di negara berkembang. Menurut organisasi Transparancy International (Transparansi Internasional), pada tahun 2009 mencatat masih kronisnya korupsi melanda negara-negara berkembang, seperti digambarkan dalam ilustrasi berikut ini:

Indonesia termasuk salah satu di antara negara-negara dengan indeks persepsi korupsi cukup parah, hampir separah negara-negara di negara Afrika. Indeks persepsi korupsi Indonesia di tahun 2009 adalah 2,8 yang berarti mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya di 2008 berkisar pada angka 2,6. Posisi Indonesia adalah di urutan ke-111 bersama dengan negara Mesir, berbeda jauh dengan Singapura menempati urutan ke-6, begitu pula bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya yaitu masing-masing, Brunei di urutan ke-39 dan Malaysia di urutan ke-56. Kontribusi kenaikan indeks korupsi tersebut banyak diberikan oleh sektor pembalakan liar hutan dan maraknya suap dalam institusi pemerintahan di daerah.

Sebelumnya di tahun 2008, Transparancy International pernah melakukan survei mengukur tingkat korupsi pemerintah daerah berdasarkan persepsi pengusaha setempat. Survei pada 15 institusi pemerintah daerah menjaring total 3.841 responden dengan berstatus pengusaha mencapai 2.371, tokoh masyarakat 396 orang, dan pejabat pemerintah berjumlah 1.074 orang. Hasil survei adalah sebagai tingkat kecenderungan aparat daerah melakukan suap menempatkan Yogyakarta sebagai kota relatif bebas suap, sedangkan Kupang merupakan kota terkorup. Selanjutnya, kota-kota lain berada di antara Yogyakarta dan Kupang antara lain adalah kota dengan skor tertinggi, seperti Palangkaraya, Banda Aceh, Jambi, dan Mataram. Dapat disimpulkan bahwa secara garis besar pemerintah daerah di Indonesia masih rentan dengan bahaya korupsi. Sehingga masa depan kemampuan negara Indonesia bangkit dari jerat korupsi sebenarnya bergantung dari upaya daerah untuk bekerja sama memberantas korupsi di segala aspek pemerintah, swasta, maupun masyarakat.

Teori dan Konsep Ekonomi Politik
Pada hakekatnya, ekonomi politik berasal dari ilmu filosofi moral diperkenalkan pada abad ke-18 sebagai ilmu ekonomi negara atau entitas politik. Asal dari terminologi ekonomi politik adalah dari kata biasa digunakan dalam mempelajari produksi, pembelian, dan penjualan serta hubungannya dengan hukum, kebiasaan, dan pemerintah. Secara garis besar, ekonomi politik merupakan studi interdisipliner antara ekonomi, hukum, dan politik. Ilmu ini berbicara mulai dari bagaimanan suatu sistem, misalnya kapitasi, sosialis, dan campuran di antara keduanya saling berinteraksi, mempengaruhi kebijakan publik. Sehingga kebijakan seperti monopoli, proteksi pasar, kebijakan fiskal pemerintah, termasuk praktek rent-seeking merupakan produk dari aplikasi ekonomi politik.

Perbedaan pendekatan dalam ekonomi politik menempatkan besarnya peran antara pemerintah pusat di level nasional dengan pemerintah daerah di level lokal. Ekonomi politik dari sudut pandang pemerintahan lokal, menginginkan peran aktor di level perkotaan dan daerah dimana aktivitas ekonomi terdapat di wilayah mereka (Sabel, 1989; Ohmae, 1996; Sassen, 2000). Jefferey Sellers (2003) mengatakan bahwa, aktifitas ekonomi lokal akan meningkatkan tanggung jawab lebih besar di tangan pemerintah daerah untuk berperan di dalam pasar transnasional. Sellers mengatakan bahwa pemerintah daerah dapat diserahkan tanggung jawab dalam menyediakan barang publik dan memainkan peran penting di dalam mencapai tujuan bersama antar daerah.

Ekonomi politik lokal bermaksud mendekatkan rakyat terhadap pemerintahnya sehingga dampak positif seperti meningkatnya pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang selama ini terabaikan, karena sentralisasi kekuasaan, dapat dipenuhi. Kesejahteraan masyarakat diharapkan lebih baik seiring dengan suksesnya program desentralisasi

Akan tetapi Sellers juga berargumen bahwa peran tersebut di atas hanyalah merupakan bagian kecil diberikan pemerintah pusat dibandingkan dengan pilihan murni daerah. Walaupun ketersediaan barang publik tersebut sangat spesifik untuk daerah tertentu, suatu sistem terorganisir mengintegrasikan keuntungan dari barang tersebut ke dalam sistem nasional berupa penyusunan kebijakan dan implementasinya. Sistem seperti ini membutuhkan campur tangan institusi pemerintah tingkat nasional mendominasi perwakilan politik, hubungan antara unit administratif, dan hubungan fiskal antara pemerintah daerah. Dengan demikian dari kedua perbedaan perpektif tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi politik lokal tidak hanya melibatkan pemerintah daerah saja, namun lebih jauh peran besar kepentingan pemerintah pusat di dalam menentukan arah kebijakan ekonomi tingkat lokal tidak dapat dikesampingkan.

Kebijakan ekonomi lokal pemerintah pusat kepada daerah salah satunya adalah melakukan desentralisasi fiskal sebagai upaya mendesentralisasikan kewenangan daerah untuk meningkatkan kemampuan memungut pajak dan retribusi. Peran pemerintah pusat sangat besar dalam upaya merancang desentralisasi fiskal berimbang pada setiap daerah. Dengan daerah mampu menjalankan fungsi ekstraktif (memungut atau menyerap), regulatif (mengatur), dan distributif (menyalurkan), maka diharapkan daya saing daerah dapat perekonomian turut menguat. Dampak positif lainnya adalah daerah dapat meminimalisir timbulnya politik anggaran lokal merugikan bagi masyarakat lokal.

Teori desentralisasi fiskal menekankan adanya distribusi tanggung jawab finansial atau pembiayaan sebagai komponen utama dari desentralisasi. Pemerintah lokal dan organisasi swasta dapat menjalankan desentralisasi secara efektif apabila mereka memiliki pendapatan yang cukup baik melalui pungutan daerah maupun transfer dari pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah lokal dapat memiliki pendapatan baik bila memiliki kewenangan mengambil keputusan tentang pembelanjaan di daerahnya sendiri.

Bentuk desentralisasi fiskal antara lain dapat bercirikan:
  1. Pembiayaan sendiri atau pemulihan biaya melalui pungutan kepada pengguna,
  2. Pembiayaan bersama atau pengaturan produksi bersama melalui partisipasi pengguna dalam menyediakan layanan dan infrastruktur melalui kontribusi dana ataupun tenaga buruh,
  3. Ekspansi pendapatan lokal melalui pajak bumi bangunan atau penjualan atau pungutan tidak langsung,
  4. Transfer antar lembaga pemerintah yang menggeser pendapatan umum dari pengumpulan pajak oleh pemerintah pusat ke pemerintah lokal untuk penggunaan umum ataupun spesifik,
  5. Pemberian kewenangan daerah setingkat kecamatan untuk meminjam dan memobilisasi sumber daya national ataupun lokal melalui jaminan peminjaman
Konsep desentralisasi fiskal tidak melulu selalu dikaitkan dengan federalisme fiskal. Karena di negara-negara tidak menganut federasi, desentralisasi fiskal juga dapat diimplementasikan. Menurut Chancai K. Sharma (2005) desentralisasi fiskal tidak memiliki bangunan kelembagaan formal, karena bangunan yang ada melampaui berbagai level pemerintahan dimana secara de facto memiliki kewenangan pengambilan keputusan. Namun demikian, tidak berarti segala bentuk pemerintahan dapat dikatakan sebagai federal secara fiskal.

Federalisme fiskal berarti satu rangkaian prinsip dapat diimplementasikan di semua negara yang menginginkan dilaksanakannya prinsip federalisme fiskal. Oleh karena itu, tidaklah beralasan apabila suatu negara non-federasi menolak prinsip-prinsip ini karena sifatnya sangat tergantung dari fungsi berbagai tingkat pemerintahan dan fungsi meleksat pada setiap bentuk pemerintahan. Wallace E. Oates (1999) mengatakan bahwa federalisme fiskal merupakan kerangka normative umum untuk memberikan penugasan kepada fungsi berbagai level pemerintahan dan instrumen fiskal dalam menjalankan fungsi mereka (fiscal federalism is a general normative framework for assignment of functions to the different levels of government and appropriate fiscal instruments for carrying out these functions).

Perbedaan antara federalisme fiskal dan desentralisasi fiskal menurut Sharmaterletak pada bagaimana cara negara-negara federasi dan non-federasi menerapkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep menghubungkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam federalisme fiskal. Sedangkan desentralisasi fiskal merupakan proses menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Tentu saja, corak perbedaan akan sangat bergantung dari keputusan politik yang diambil oleh para pengambil keputusan di negara kesatuan ataupun federasi.

Kondisi desentralisasi fiskal di negara berkembang, terutama menganut sistem pemerintahan non-federasi menempatkan pemerintah lokal atau unit administratif berwenang secara legal untuk memungut pajak. Akan tetapi, pada kenyataannya dasar pemajakan sangat lemah dan kebergantungan pada subsidi pemerintah pusat betul-betul tidak terpisahkan. Sehingga, pemerintah daerah di negara-negara berkembang tidak memiliki kewenangan seutuhnya dalam desentralisasi fiskal akibat pemerintah pusat kurang sungguh-sungguh menjalankan kebijakan tersebut.

Permasalahan Desentralisasi Fiskal
Permasalahan desentralisasi fiskal di daerah di Indonesia, terutama berkaitan dengan sulitnya meningkatkan kinerja perekonomian daerah karena pembagian potensi ekonomi tidak merata, sehingga beban penduduk miskin menjadi lebih tinggi. Sementara itu, ketergantungan fiskal daerah kepada pusat akibat daerah pemekaran baru misalnya, semakin besar. Menurut studi dilakukan Bappenas (2007) tentang Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah, terdapat fakta bahwa daerah pemekaran baru atau disebut sebagai Daerah Otonom Baru (DOB) tidak optimal dalam menjaring pendapatan dan rendah dalam kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Demikian juga, DOB memiliki porsi alokasi belanja modal pemerintah daerah rendah. Dapat disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal membutuhkan masa transisi berupa proses cukup lama menumbuhkan semua potensi ekonomi yang ada.

Permasalahan semakin meruncing ketika politik anggaran lokal dimainkan oleh elit-elit di daerah. Pembangunan yang tadinya ditujukan mensejahterakan masyarakat lokal pada akhirnya harus menyerah kepada ambisi memenuhi kebutuhan finasial para kepala daerah dan anggota dewan semata. Kondisi saling terkaitnya peran anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah dalam menyuburkan praktek politik anggaran terutama sangat jelas di saat proses penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

Asumsinya, proses penyusunan APBD sebagai salah mata rantai proses desentralisasi fiskal seharusnya menekankan peran para birokrat mewakili kepentingan umum. Begitu juga, para wakil duduk di DPRD mewakili suara rakyat yang ada di wilayah kerja mereka. Namun demikian, justru kondisi seperti disebutkan tadi telah membuat politik anggara mendominasi proses desentralisasi fiskal.

Usulan datang dari bawah (masyarakat melalui tokoh-tokoh mewakili), ternyata dapat dipastikan hilang di dalam proses penyusunan program pemerintah daerah yang dituangkan dalam penganggaran APBD. Suara yang hilang tersebut akan menentukan arah kebijakan politik anggaran suatu daerah, namun ketika proses ‘musyarawah terjadi dalam mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), terjadi kompromi politik antara elit birokrasi dengan elit masyarakat. Begitu juga di tingkat pusat, berbagai kepentingan pusat antara lain pemerintah pusat melalui Departemeten Dalam Negeri, Departemen Teknis, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bappenas, juga para pemain politik daerah rajin melobi elit pusat, akan memiliki kemampuan menekan usulan dari bawah digantikan dengan agenda-agenda sarat muatan politik dari pusat.

Tidaklah aneh bila kita menemukan bahwa program pembiayaan kegiatan pemerintah daerah tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya. Politik anggaran lokal telah mencederai upaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan pusat dan daerah. Proses desentralisasi fiskal pada akhirnya hanya menumbuhkan rasa kebergantungan daerah sangat kuat terhadap pemerintah pusat, karena tetap saja proses politik anggaran mengambil porsi besar dalam menentukan arah kebijakan ekonomi suatu daerah.

Biografi Sumber Tulisan Halaman Ini
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan UNDP. “Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah: 2001-2007.” Pdf copy (Juli 2008). Lihat di Groenwegen (1987, p.906).

Krueger, Anne O. "The Political Economy of the Rent-Seeking Society," American Economic Review, 64(3) ˆ(June 1974).

Nordholt, Henk S. dan Klinken, G. v. Politik Lokal di Indonesia. Editor Anies Baswedan. Jakarta: KILTV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Oates, Wallace. “An Essay on Fiscal Federalism.” Journal of Economic Literature 37(1999).

Sellers, Jefferey M. “National Local Political Economies and Varieties of Capitalism: A Classification and Analysis of Twenty-One OECD Countries.” Paper presented at American Political Science Association Meeting, Phiadelphia, PA, (August 28-30, 2003).

Shalihal, Ai M. “Gender Budgeting: Upaya Mewujudkan Demokrasi Anggaran,” dalam Membangun Indonesia dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Anggaran Daerah. Diedit oleh I Made Leo Wiratma, M. Djadijono, dan TA. Legowo. CSIS: Jakarta, 2007.

Sharma, Chanchal K. “When Does decentralization deliver? The Dilemma of Design.” South Asian Journal of Socio-Political Studies 6 (2005a).

Chanchal K. “The Federal Approach to Fiscal Decentralization: Conceptual Contours for Policy Makers.” Loyola Journal of Social Sciences, XIX (2005b).

Transparancy International Indonesia. “Riset dan Survei: Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008” (21 Januari 2009).

Advertisement

Lagi Naik Daun