Rasa Saling Percaya dan Iklim Transformasional

#Rasa Saling Percaya dan Iklim Transformasional
Keberhasilan pihak manajemen perusahaan dalam pengembangan kompetensi anggota perusahaannya, terutama dipengaruhi oleh adanya hubungan rasa saling percaya di antara anggota perusahaan, yang merupakan salah satu bentuk emosi, yang semakin disadari keterlibatannya, untuk menghasilkan interaksi yang produktif dari para anggota perusahaan.

Rasa Saling Percaya

Rasa percaya (trust) adalah konsep yang memiliki dua komponen. Pertama, komponen emosional yang disebutkan sebagai antisipasi yang diyakinkan dan harapan yang penuh kepercayaan. Kedua, komponen intelektual yang didasar­kan pada sekumpulan rekaman mengenai performansi yang mengkonfirmasi rasa percaya (trust) tersebut. Rasa percaya menghasilkan manfaat kompetitif jangka panjang, pengaturan diri sendiri, efisiensi, performansi yang terinspirasi, serta kapasitas dan arti bagi organisasi (Ciancutti & Steding, 2001). Hubungan yang didasarkan rasa saling percaya di antara anggota organisasi bukanlah rasa percaya yang timbul begitu saja, tetapi adalah rasa percaya yang sengaja ditumbuhkan. Artinya bahwa masing-masing anggota organisasi harus bekerja dalam proses yang saling berbuka diri (self-disclosure) satu dengan lainnya (Giddens, 1995).

Rasa percaya dapat menutupi kekurangan dalam pengetahuan, karena rasa percaya menyebabkan seseorang menaruh kepercayaannya pada keahlian dari orang lainnya (Smets et al, 1999). Dengan mempercayai keahlian orang lain dalam organisasi, akan menyebabkan bawahan percaya terhadap keahlian atasan, dan sebaliknya juga dari atasan terhadap bawahannya. Hal ini akan mengarah pada terjadinya pertukaran pengetahuan di antara anggota organisasi. Situasi seperti ini dapat dicapai jika ada keterbukaan, artinya jika di dalam perusahaan terjadi aliran bebas dari informasi yang benar di antara anggotanya.

Fukuyama (1995) memperkuat pendapat di atas. Ia secara eksplisit menghubungkan konsep dari rasa percaya dengan proses dan perkembangan makro ekonomi. Dikatakannya bahwa tingkat rasa saling percaya yang terdapat dalam masyarakat adalah prasyarat bagi sukses ekonomi negara di mana masyarakat tersebut berada. Bila di dalam masyarakat rasa saling percaya yang makin tinggi, kita dapat berharap perkembangan ekonomi ngera ada yang makin laju, karena hubungan yang penuh rasa saling percaya akan melancarkan kerja sama ekonomi dan perdagangan. Ia memberi contoh negara yang memiliki tingkat rasa saling percaya yang tinggi seperti Jerman dan Jepang, di mana kedua negara memiliki formasi strategi negosiasi dan kerja sama yang lebih mudah daripada China dan Taiwan, yang dikatakannya sebagai negara-negara dengan tingkat rasa saling percaya yang rendah, sehingga keadaan ekonominya lebih tidak stabil dibandingkan dengan Jerman dan Jepang, meskipun pada kenyataannya Jepang lebih kaku terhadap perubahan drastik, tetapi jauh lebih dapat dipercaya dan kuat untuk beroperasi dalam lingkup ekonomi yang tidak pasti. Hal ini dapat dijelaskan dengan model Fox (1974) yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang nyata antara negara dengan high-trust dan low-trust dalam konteks dan kondisinya untuk pembentukan strategi negosiasi dan kerja-sama.

Mekanisme rasa saling percaya mengurangi biaya-biaya pemantauan dan aktivitas pemberian sanksi (Coleman, 1990, Fukuyama 1995). Rasa saling percaya antara kelompok dapat ditumbuhkan melalui sosialisasi, yaitu melalui pengembangan norma dan nilai bersama, sehingga kelompok-kelompok tersebut terintegrasi ke dalam satu sistem sosial (Smets et al, 1999). Luhmann (1990) menyebutkan bahwa rasa saling percaya adalah cara yang efektif untuk mengurangi dan mengamankan beberapa bentuk keputusan selektif. Strategi yang didasarkan rasa saling percaya yang tinggi dapat digunakan untuk untuk mengatasi kekompleksan hubungan sosial, karena rasa saling percaya meningkatkan toleransi orang pada ketidakpastian (Luhmann, 1979).

Imbal-balik (reciprocity) antar manusia pada negara-negara Asia di­intepretasi­kan sebagai suatu moral dasar dan kondisi untuk kerja-sama, juga sebagai alat dalam arena politik dari interaksi manusia (Wels, 1995; 1996; Yan, 1996; Yang, 1994). Analog dengan itu maka rasa saling percaya diantara anggota organisasi dalam perusahaan diperkirakan juga akan menjadi moral dasar dan kondisi untuk kerja sama yang baik dalam arena perusahaan.

Iklim Transformasional

Burns (1978) mengatakan bahwa adanya iklim transformasional dalam perusahaan memungkinkan bawahan untuk mendahulukan kepentingan grup, organisasi atau masyarakat daripada kepentingan dirinya sendiri; lebih mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang untuk mengembangkan dirinya sendiri daripada kepentingan sesaat; dan menjadi lebih sadar mengenai apa yang betul-betul penting. Pendapat ini didukung oleh Bennis (1984) yang menemukan bukti bahwa pemimpin transformasional berkompetensi untuk mengelola perhatian dan arti, untuk mengartikulasikan visi mengenai apa yang mungkin terjadi, dan untuk mendorong efek kolektif dari kepemimpinan mereka. Dengan demikian kepemimpinan transformasional meningkatkan usaha, kepuasan dan efektivitas dari bawahan. (Bass, 1985a, 1985b). Pemimpin yang transformasional berkorelasi sangat tinggi dengan efektivitas pemimpin (Hater & Bass, 1998; Tammarino & Bass, 1988). Dengan demikian kepemimpinan transformational menyebabkan bawahan mengidentifikasi atasannya sebagai panutan (role model) (Bass & Avolio, 1988).

Dalam praktek sebaiknya pemimpin bukan hanya perlu memiliki kompetensi teknikal dan keahlian berorganisasi, tetapi juga perlu menjadi pengembang kemampuan orang dan juga pembentuk tim (Bradford & Cohen, 1984). Dengan demikan iklim transformasional sebenarnya menyebabkan orang, baik bawahan maupun atasan, dapat dengan arif menyeimbangkan kepentingan bersama dengan kepentingan diri sendiri.

#Hubungan Rasa Saling Percaya dan Iklim Transformasional

Rasa saling percaya menyebabkan anggota organisasi mempercayai keahlian dari anggota lainnya (Smets et al, 1999), yaitu bahwa baik bawahan maupun atasan saling mempercayai satu sama lainnya. Hal ini menciptakan iklim transformasional yang berupa kesediaan dari bawahan untuk mempelajari pengetahuan atasannya, karena bawahan mengidentifikasi atasannya sebagai panutan/role model (Bass & Avolio, 1988). Karena adanya keterbukaan (self-disclosure) dari masing-masing pihak (Giddens, 1995), sebagai manifestasi dari rasa saling percaya tersebut, maka kekurangan dalam pengetahuan dapat dipelajari dari keahlian orang lain dalam organisasi, atau pengetahuan tersebut ditransformasikan dari anggota yang satu terhadap anggota lainnya. Dengan kata lain: rasa saling percaya meningkatkan toleransi pada ketidakpastian (Luhmann, 1979), sehingga walaupun ada ketidak pastian pada jangka panjang, orang tetap bersedia bekerja sama untuk mencapai kepentingan bersama (Burns, 1978).

Hasil Penelitian Empirik

Suatu studi kasus (Faustine, 2001) di salah satu perusahaan tekstil di Bandung (PT GTX), dilakukan pada tahun 2001, untuk mendapatkan data empirik dari perusahaan mengenai: intensitas untuk berbagi visi; keinginan untuk berbagi pengetahuan; dan keterbukaan sebagai proxy dari rasa saling percaya.

Studi kasus dilakukan dengan metodologi: wawancara terbuka dengan pemilik dan profesional di perusahaan, serta pengisian kuesioner berisikan 200 data oleh 25 orang anggota perusahaan di tingkat manajerial.

Meskipun masih diperlukan penelitian yang lebih komprehensif dan mendalam, dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa ada hubungan yang signifikan antara keterbukaan yang merupakan manifestasi dari rasa saling percaya di antara anggota organisasi, dengan keinginan untuk berbagi pengetahuan, yang merupakan manifestasi dari iklim transformasional dalam organisasi PT GTX.

Kenyataan lain di lapangan dari wawancara dengan para profesional maupun pemilik di PT.LG-Bdg, PT.BSW-Upg, MakJw-Upg, PT SJP-Upg, PT.Lac-Yog, PT.Lp-Krwc, juga memberikan hasil yang memperkuat studi kasus tersebut, yaitu bahwa: adanya hubungan yang didasarkan pada rasa saling percaya di antara anggota organisasi, memungkinkan peningkatan keinginan untuk berbagi pengetahuan, untuk meningkatkan kompetensi anggota organisasi. Hal ini menciptakan iklim transformasional antar anggota organisasi yang secara tidak langsung meningkatkan kompetensi organisasi maupun daya saing organisasi pada umumnya.

Untuk mendapatkan model yang sahih, maka perlu dilakukan penelitian lebih mendalam, dengan mengintegrasikan juga penelitian lainnya di bidang manajemen dan psikologi industri, yaitu dengan milihat seberapa jauh manfaat rasa percaya tersebut pada pengaturan diri sendiri, efisiensi, performansi yang terinspirasi maupun kapasitas dan arti bagi organisasi seperti yang dikatakan Ciancutti & Steding (2001). Seberapa jauh efektifitas rasa saling percaya untuk mengurangi dan mengamankan beberapa bentuk keputusan strategis, yang dapat digunakan untuk mengatasi kekompleksan hubungan sosial, ataupun toleransi orang pada ketidakpastian (Luhmann, 1979), di Indonesia khususnya? Selain itu juga perlu diteliti seberapa jauh rasa saling percaya ini dapat menjadi modal maya bagi pencapaian kesejahteraan bersama masyarakat di Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Fukuyama (1996) mengenai bangsa-bangsa lainnya di dunia? Atau juga perlu diteliti, bagaimana menumbuhkan rasa saling percaya yang dapat mendorong efek kolektif bagi masyarakat pada umumnya, sehingga dapat meningkatkan usaha, kepuasan dan efektifitas bawahan maupun pemimpin seperti yang dikatakan Hater & Bass (1998) maupun Tammarino & Bass (1988).

Dengan melihat perkembangan China yang pesat pada dekade terakhir ini, maka kita perlu mempertanyakan juga, apakah pendapat Fukuyama mengenai China yang ditulisnya pada tahun 1996, masih dapat dipertahankan? Sebab pada kenyataannya sekarang, strategi ekonomi negera tersebut telah memperlihatkan gejala psikososial yang berlawanan dengan gejala psikososial yang dikatakan Fukuyama sebagai negara dengan masyarakatnya yang memiliki tingkat kepercayaan yang rendah. China berani membuka diri terhadap teknologi baru, terhadap investasi asing, dan melakukan perubahan mendasar dari paradigma atau pola pikir lama yang menghambat perkembangan masyarakatnya, menjadi negara di mana pemerintahnya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kemajuan industri, perkembangan pengetahuan yang menunjang perbaikan taraf hidup masyarakatnya secara umum, tanpa mempedulikan siapa yang menjadi pelaku dari perkembangan tersebut. Bahkan, disediakan sarana dan prasarana yang sangat memadai untuk perkembangan tersebut, misalnya melalui infrastruktur jalan yang baik, sehingga memungkinkan perekonomian di pedesaan sekalipun menjadi maju. Hal ini membuktikan bahwa tingkat rasa saling percaya masyarakatnya sudah berubah, dari masyarakat yang sulit bekerja sama menjadi masyarakat yang sangat kooperatif dan pluralistis. Di samping itu, paradigma atau pola pikir masyarakatpun disiapkan dan diarahkan untuk dapat menerima pemikiran yang realistis dan menguntungkan bagi masyarakatnya.

Dari beberapa hal yang disebutkan di atas, maka keadaan psikososial dalam masyarakat industri di Indonesia perlu mendapat perhatian serius. Untuk itu maka apabila dimulai dari perusahaan keluarga, sebagai suatu kesatuan / entity yang paling besar pengaruhnya terhadap Produk Domestik Bruto di Indonesia, yaitu sekitar 82.44% (Faustine, 2001), ditumbuhkan rasa saling percaya secara simultan pada semua jenis klasifikasi usaha, dan juga pada semua sektor di pemerintahan, maka niscaya perusahaan di Indonesia akan memiliki daya saing yang lebih baik, dan didukung dengan sektor pemerintahan yang juga dapat dipercaya serta mempercayai perusahaan, akan memungkinkan perusahaan di Indonesia untuk dapat bersaing juga di pasar global, sehingga menjadikan kesejahteraan bersama dalam masyarakat yang diharapkan dapat segera terwujud.

#Daftar Pustaka
Bass, Bernard M (1985a), Leadership and performance beyond expectations, Free Press, New York
Bass, Bernard M (1985b), Leadership: Good, better, best, Organizational Dynamics, 13 (3), 26-40.
Bass, B.M. & Volio B.J. (1988), Prototypically; leniency and generalized response set in rated and ranked transformational and transactional leadership descriptions. (Report Series 88-2). Binghamton: State University of New York, Center for Leadership Studies. Also: (1989), Potential biases in leadership measures: How prototypes, leniency, and general satisfaction relate to ratings and rankings of transformational and transactional leadership constructs. Educational and Psychological measurement, 49, 509-527, dalam Bass, Bernard M. (1990), Bass & Stogdill’s Handbook of Leadership-Theory, Research, & Managerial Applications Third Ediiton. The Free Press, New York, N.Y.10022, hal. 54.

Bass, B. & Tammarino, F.J. (1988), Leadership: Dispositional and Situational, (ONR Tech. Rep. No.5), Binghamton: State University of New York, Center for Leadership Studies
Bennis, W.G. (1984), The 4 competencies of leadership, Training & Development Journal, 38 (8), hal. 14-19
Burns, J.M. (1978), Leadership, Harper & Row, New York
Ciancutti, Arky, M.D., dan Steding, Thomas L. PhD. (2001), Built on Trust, Gaining Competitive Advantage in Any Organization, Contemporary Books, Lincolnwood, Chicago Illinois, hl. 115, 116.
Coleman, J.S. (1990), Foundations of Social Theory, Harvard University Press, Hal. 306-310., Cambridge, Massachusetts

Faustine, Petrina (2001), The Influence of Trust in Exchanging Business Vision and Knowledge Within A Family Business: A Case Study in PT GTX Bandung – Indonesia, in The Role of Family in Family Business Research Forum Proceedings (2001). Corbetta, Guido and Montemerlo, Daniela (Editors), The Family Business Network, EGEA S.p.A., Milano. Hal. 294-305

Fox, A. (1974), Beyond the contract dalam Smets, Peer; Wels, Harry; van Loon, Joost 1999), Trust & Cooperation, Symbolic exchange and moral economies in an age of cultural differentiation, Het Spinhuis, Amsterdam, hal.21, 22.
Fukuyama, Francis (1995), Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity, Free Press Paperbacks, New York, N.Y.10020, hal. 7,10,70,204.

Luhmann, N. (1990), Essays on Self-reference, New York: Columbia University Press in Smets, Peer; Wels, Harry; van Loon, Joost (1999), Trust & Cooperation, Symbolic exchange and moral economies in an age of cultural differentiation, hal. 22., Het Spinhuis, Amsterdam
Luhmann, N. (1979), Trust and Power, Chicester etc., John Wiley & Sons. Hal. 150.
Smets, Peer; Wels, Harry; van Loon, Joost (1999), Trust & Cooperation, Symbolic exchange and moral economies in an age of cultural differentiation, Het Spinhuis, Amsterdam, hal. 15, 21, 98, 106-107, 130
Wels, 1995, in Smets, Peer; Wels, Harry; van Loon, Joost (1999), Trust & Cooperation, Symbolic exchange and moral economies in an age of cultural differentiation, Het Spinhuis, Amsterdam.

Advertisement

Lagi Naik Daun